Di dunia investasi, ada satu kesalahan yang diam-diam menghancurkan banyak portofolio tanpa disadari: overtrading. Istilah ini merujuk pada kebiasaan terlalu sering melakukan transaksi jual beli saham tanpa alasan yang cukup kuat secara fundamental. Banyak investor merasa semakin sering bertransaksi, semakin besar pula peluang mereka untuk untung. Namun kenyataannya, pola pikir itu justru menjadi jebakan yang membuat mereka kehilangan arah, waktu, dan uang. Investor profesional memahami bahwa keberhasilan bukan ditentukan oleh seberapa sering bergerak, melainkan oleh seberapa tepat keputusan yang diambil.

Fenomena overtrading biasanya lahir dari dua sisi psikologi utama: greed dan fear. Ketika pasar sedang naik, dorongan serakah membuat investor ingin membeli sebanyak mungkin, takut ketinggalan momentum. Sebaliknya, saat pasar turun, rasa takut membuat mereka buru-buru menjual tanpa analisis mendalam. Kedua emosi ini menciptakan siklus transaksi berlebihan yang tampak produktif di permukaan, tetapi sebenarnya merusak stabilitas portofolio. Dalam jangka panjang, biaya transaksi, pajak, dan keputusan impulsif menjadi beban besar yang menggerus keuntungan nyata.

Banyak investor baru terjebak dalam ilusi aktivitas. Mereka percaya bahwa dengan terus memantau grafik dan melakukan transaksi setiap hari, mereka lebih “aktif” dan “profesional”. Padahal, aktivitas bukan berarti produktivitas. Seorang petani tidak akan mempercepat panennya dengan terus menggali tanah setiap jam. Begitu pula dalam investasi — terlalu sering mengubah posisi justru merusak potensi hasil jangka panjang. Investor sukses justru dikenal karena kesabarannya menunggu waktu yang tepat, bukan karena frekuensi perdagangannya.

Kondisi pasar yang semakin mudah diakses melalui aplikasi digital juga memperburuk gejala ini. Hanya dengan beberapa klik, investor bisa membeli dan menjual saham dalam hitungan detik. Notifikasi harga, grup diskusi, dan berita sensasional di media sosial membuat emosi pasar menjadi sangat reaktif. Tanpa disadari, banyak orang mulai memperlakukan investasi seperti permainan cepat alih-alih keputusan berbasis logika. Setiap kenaikan kecil dianggap sinyal beli, setiap penurunan dianggap tanda bahaya. Akibatnya, mereka kehilangan arah dan fokus jangka panjang.

Overtrading sering juga muncul karena rasa ingin membuktikan kemampuan diri. Beberapa investor merasa perlu “membalas” kerugian dengan cepat. Setelah mengalami penurunan, mereka kembali membeli saham lain untuk menutup rugi sebelumnya — fenomena yang disebut revenge trading. Padahal, keputusan seperti itu lebih dipicu oleh ego, bukan analisis. Investor profesional tahu bahwa satu-satunya cara pulih dari kerugian adalah dengan berpikir jernih dan memperbaiki strategi, bukan dengan menambah jumlah transaksi secara acak.

Selain faktor emosional, kurangnya rencana investasi yang jelas juga mendorong overtrading. Banyak investor tidak memiliki panduan kapan harus masuk atau keluar dari pasar. Tanpa tujuan yang pasti, setiap berita atau rumor bisa mengubah arah keputusan mereka. Investor sukses selalu memiliki strategi yang terukur: mereka tahu alasan membeli suatu saham, tahu kapan menambah posisi, dan tahu kapan harus menunggu. Dalam dunia pasar modal, keputusan terbaik sering kali adalah tidak melakukan apa-apa sampai peluang yang benar-benar solid muncul.

Dari sisi ekonomi, overtrading jelas merugikan. Setiap transaksi menimbulkan biaya komisi dan pajak yang terlihat kecil tapi akan terakumulasi besar dalam jangka panjang. Jika seorang investor melakukan ratusan transaksi dalam setahun, total biayanya bisa memakan sebagian besar keuntungan bersih. Belum lagi efek psikologisnya — kelelahan mental karena terus memantau pasar setiap hari bisa menurunkan kualitas keputusan. Investor yang lelah cenderung mencari kepastian instan dan akhirnya melakukan keputusan impulsif yang berisiko tinggi.

Cara menghindari overtrading dimulai dengan memahami tujuan investasi pribadi. Apakah seseorang berinvestasi untuk jangka panjang, mencari dividen, atau sekadar spekulasi jangka pendek? Dengan memahami tujuan, setiap keputusan bisa difilter berdasarkan relevansinya. Investor jangka panjang tidak perlu panik menghadapi fluktuasi harian. Fokus mereka ada pada pertumbuhan fundamental perusahaan dan potensi valuasi dalam beberapa tahun ke depan. Sebaliknya, mereka yang tidak punya arah akan mudah terbawa arus rumor dan melakukan transaksi berulang tanpa arah yang jelas.

Disiplin dan kesabaran adalah dua senjata utama melawan overtrading. Investor profesional melatih diri untuk menunggu peluang dengan rasio risiko dan imbal hasil yang seimbang. Mereka menggunakan data, bukan emosi. Ketika mayoritas investor sedang terjebak dalam euforia atau ketakutan, mereka justru mengamati dari kejauhan. Bagi mereka, pasar bukan tempat untuk membuktikan siapa yang tercepat, melainkan siapa yang paling rasional. Prinsip ini membuat mereka bisa tetap konsisten meskipun pasar sedang tidak menentu.

Langkah praktis lain yang efektif adalah membatasi frekuensi transaksi secara sadar. Misalnya, dengan membuat aturan internal seperti “tidak lebih dari dua transaksi per minggu” atau “hanya membeli saham dengan sinyal fundamental kuat”. Aturan ini bukan untuk mengekang, tetapi untuk menjaga disiplin mental agar tidak terbawa arus jangka pendek. Investor yang menerapkan prinsip ini biasanya memiliki performa yang lebih stabil dan jarang mengalami kerugian besar akibat keputusan impulsif.

Selain itu, penting juga untuk mengevaluasi portofolio secara berkala, bukan setiap hari. Evaluasi yang terlalu sering justru memperkuat bias emosi. Jika harga naik sedikit, muncul rasa serakah; jika turun sedikit, muncul rasa takut. Dengan mengevaluasi setiap beberapa minggu atau bulan, investor bisa menilai kinerja secara objektif tanpa gangguan fluktuasi kecil. Pendekatan ini membantu menjaga perspektif jangka panjang dan mengurangi dorongan untuk terus melakukan transaksi.

Investor cerdas tahu bahwa keuntungan besar bukan berasal dari banyaknya transaksi, melainkan dari keputusan yang paling tepat di waktu yang paling tenang. Mereka memahami bahwa pasar saham bergerak seperti ombak — tidak perlu melawan setiap gelombang kecil, cukup menunggu arus besar yang bisa membawa ke arah tujuan. Dalam logika investasi, diam di waktu yang salah jauh lebih bijak daripada bergerak tanpa rencana.

Pada akhirnya, overtrading adalah bentuk kegelisahan investor terhadap ketidakpastian. Ia muncul dari keinginan untuk selalu mengontrol hasil, padahal pasar tidak bisa dikendalikan sepenuhnya. Yang bisa dikendalikan hanyalah cara berpikir dan strategi menghadapi perubahan. Dengan mengelola emosi, membuat rencana jelas, dan menahan diri dari keputusan impulsif, investor bisa meminimalkan kesalahan dan menjaga arah investasi tetap logis.

Investasi bukan tentang siapa yang paling sering menang setiap hari, tetapi siapa yang mampu bertahan dan tumbuh dalam jangka panjang. Ketika orang lain sibuk berpindah posisi setiap menit, investor bijak memilih untuk berpikir. Ketika pasar memancing euforia atau ketakutan, mereka tetap berpegang pada logika. Karena pada akhirnya, hasil terbaik bukan milik yang paling aktif, melainkan milik yang paling disiplin.

Pantau data dan analisis investasi terkini hanya di emiten.com/info agar tidak tertinggal peluang berikutnya.

© 2025, magang. All rights reserved.

Artikel Lainnya oleh Tim editor emiten.com

Leave a Comment

Startup yang terus berkomitmen tingkatkan kualitas ekosistem pasar modal Indonesia

PT APLIKASI EMITEN INDONESIA