Banyak investor merasa cemas ketika pasar saham mulai bergerak liar. Harga turun beberapa persen saja sudah membuat sebagian orang panik, menjual portofolio, lalu kembali menyesal ketika pasar pulih. Rasa fear yang muncul saat melihat portofolio merah sering kali membuat keputusan tidak lagi berdasarkan logika. Sebaliknya, sebagian investor menjadi terlalu greedy ketika pasar sedang naik cepat, masuk di harga tinggi, dan akhirnya terjebak di puncak. Pola yang sama berulang setiap tahun—mereka yang emosional merugi, dan mereka yang tenang justru makin kuat. Di tengah dinamika itu, ada satu pertanyaan yang sering muncul: mengapa investor kaya terlihat lebih berani membeli saham saat krisis, ketika mayoritas justru menjauh?

Fakta di pasar menunjukkan situasi yang menarik. Saat pandemi 2020, ketika IHSG sempat anjlok lebih dari 35%, sebagian investor ritel melakukan panic selling. Namun data transaksi menunjukkan lonjakan pembelian justru datang dari investor institusi dan high-net-worth individuals. Fenomena ini kembali terulang pada periode inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga global. Ketika berita negatif mendominasi, justru dana besar mulai bergerak masuk. Pola ini menimbulkan rasa penasaran sekaligus menggambarkan adanya perbedaan cara berpikir yang fundamental antara investor biasa dan investor berpengalaman. Apa sebenarnya logika di balik keberanian tersebut?

Jika dilihat lebih dalam, keputusan membeli saat krisis bukan sekadar keyakinan buta. Itu adalah hasil dari pemahaman mendalam tentang bagaimana pasar bekerja. Investor kaya melihat penurunan sebagai diskon, bukan ancaman. Mereka memahami bahwa pasar bergerak dalam siklus—fase euforia, koreksi, dan pemulihan. Mereka juga tahu bahwa harga yang tertekan sering kali tidak mencerminkan nilai asli perusahaan. Dengan pengalaman puluhan tahun mengamati data ekonomi, mereka memahami bahwa setiap krisis selalu menciptikan peluang jangka panjang. Pertanyaannya: bagaimana logika ini bisa diterapkan oleh investor biasa agar tidak lagi terjebak dalam pola emosional yang sama?

Untuk memahami inti masalahnya, kita perlu melihat konteks ekonomi yang lebih luas. Sering kali krisis muncul bersamaan dengan tekanan seperti kenaikan inflasi, suku bunga tinggi, perlambatan ekonomi, atau penurunan laba perusahaan. IHSG bisa tertekan cukup dalam ketika investor global menarik dana, sementara dolar menguat. Namun investor kaya membaca kondisi tersebut berdasarkan data, bukan asumsi. Mereka memperhatikan fundamental emiten seperti arus kas, stabilitas utang, dan daya saing sektor. Selama perusahaan masih menjalankan bisnis inti dengan kuat, penurunan harga dianggap sebagai bagian dari siklus, bukan tanda kehancuran.

Psikologi pasar juga memainkan peran kuat. Ketika fear mendominasi, banyak investor ritel menjual karena tekanan mental, bukan analisis. Harga yang terdistorsi akibat panic selling bisa menciptakan valuasi sangat murah, sesuatu yang justru dicari oleh investor yang siap menunggu pemulihan. Contohnya, sektor perbankan, konsumer, dan telekomunikasi beberapa kali mengalami koreksi besar dalam 10 tahun terakhir, namun selalu kembali menguat seiring perbaikan ekonomi. Investor kaya memahami pola ini dan menggunakannya sebagai acuan untuk mencari peluang ketika sentimen negatif berlebihan.

Dalam banyak kasus, investor berpengalaman juga memiliki strategi berbeda dalam membaca tren global. Mereka tidak hanya melihat berita harian, tetapi fokus pada indikator yang lebih stabil seperti pertumbuhan ekonomi, perbaikan laba korporasi, atau arah kebijakan bank sentral. Mereka tahu bahwa krisis sering menjadi titik pembalikan, di mana pasar bergerak dari fear ke recovery. Pemahaman inilah yang membuat mereka berani bertindak saat mayoritas memilih menunggu dalam ketidakpastian.

Agar investor biasa dapat meniru logika tersebut, ada beberapa strategi yang bisa diterapkan. Pertama, fokus pada manajemen risiko. Memiliki dana cadangan, porsi kas, dan alokasi portofolio yang seimbang dapat membantu membuat keputusan lebih tenang saat pasar bergerak liar. Ketika kondisi stabil, investor bisa mengatur strategi akumulasi bertahap, bukan membeli sekaligus. Langkah ini mengurangi tekanan psikologis sekaligus menjaga harga rata-rata tidak terlalu tinggi.

Kedua, perhatikan fundamental perusahaan. Saat pasar tertekan, lakukan penyaringan sederhana: apakah perusahaan memiliki arus kas sehat? Apakah pendapatannya stabil? Bagaimana rasio utangnya? Emiten dengan fundamental kuat biasanya pulih lebih cepat setelah krisis. Dengan mengikuti data ini, keputusan membeli saat harga turun menjadi lebih rasional dan tidak bergantung pada rumor pasar.

Ketiga, latih mindset jangka panjang. Banyak investor kaya sudah melalui berbagai siklus—krisis global 2008, taper tantrum 2013, pandemi 2020, hingga perlambatan 2023. Mereka belajar bahwa kesabaran adalah faktor yang mengalahkan ketakutan. Dengan memahami bahwa pasar selalu bergerak naik dalam jangka panjang, investor bisa lebih siap menghadapi periode penurunan tanpa panik berlebihan.

Pada akhirnya, keberanian investor kaya membeli saat krisis bukan karena mereka tidak takut, tetapi karena mereka mengelola rasa takutnya dengan data, logika, dan pengalaman. Sebaliknya, rasa greed pun dijaga agar tidak menyeret mereka membeli di puncak. Logika ini dapat menjadi pelajaran penting bagi investor yang ingin meningkatkan kualitas keputusan finansialnya.

Investasi pada dasarnya bukan tentang menebak, tetapi tentang membaca siklus dan menjaga emosi tetap stabil. Ketika fear mulai mendominasi pasar, peluang sering kali muncul bagi mereka yang mampu berpikir jernih.

Pantau data dan analisis investasi terkini hanya di emiten.com/info agar tidak tertinggal peluang berikutnya.

© 2025, magang. All rights reserved.

Artikel Lainnya oleh Tim editor emiten.com

Leave a Comment

Startup yang terus berkomitmen tingkatkan kualitas ekosistem pasar modal Indonesia

PT APLIKASI EMITEN INDONESIA