Dalam dunia investasi, krisis sering dianggap sebagai momok menakutkan. Banyak investor pemula panik ketika melihat harga saham turun tajam, indeks melemah, atau berita ekonomi global berubah negatif. Rasa fear menguasai, membuat mereka menjual secara terburu-buru tanpa memahami konteks jangka panjang. Di sisi lain, ada pula investor yang terjebak
Banyak investor pemula terjebak dalam pola pikir cepat kaya, terutama ketika melihat saham tertentu naik puluhan persen dalam waktu singkat. Rasa greed muncul secara alami, membuat investor lupa bahwa pergerakan ekstrem seringkali tidak didukung fundamental apa pun. Di sisi lain, ada pula yang membeli saham tersebut karena takut
Banyak investor pemula merasa gugup ketika membuka laporan keuangan. Angka-angka terlihat rumit, istilahnya teknis, dan sering muncul ketakutan mengambil keputusan yang salah hanya karena salah membaca data. Dalam kondisi pasar yang penuh ketidakpastian, rasa fear tersebut justru semakin besar. Di sisi lain, ada pula investor yang terbawa greed
Setiap kali arus modal asing kembali masuk ke pasar saham, banyak investor ritel langsung merasakan dua emosi sekaligus: fear takut tertinggal momentum, dan greed ingin ikut menikmati potensi cuan besar yang biasanya mengikuti aliran dana global tersebut. Fenomena ini berulang dari tahun ke tahun, terutama ketika ekonomi Indonesia
Banyak investor ritel sering merasa terlambat masuk ke suatu saham. Ketika harga mulai naik, mereka ragu. Ketika harga sudah tinggi, mereka baru berani beli karena takut kehilangan peluang. Namun begitu investor besar atau institusi mulai melakukan aksi ambil untung, harga justru turun dan membuat investor ritel panik. Pola
Tidak sedikit investor ritel yang merasakan pengalaman pahit di pasar saham. Harga bergerak cepat, grafik naik tajam, lalu tiba-tiba jatuh tanpa alasan jelas. Banyak yang membeli karena takut tertinggal, sementara sebagian lainnya bertahan karena harapan berlebih bahwa harga pasti kembali naik. Di tengah tarik-menarik antara greed dan fear,