Banyak investor baru masuk ke pasar saham dengan satu tujuan: mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat mungkin. Mereka sering kali terinspirasi oleh kisah sukses orang lain yang berhasil menggandakan modal hanya dalam beberapa bulan. Namun, tanpa sadar, mereka melupakan satu prinsip penting dalam investasi: setiap orang memiliki profil risiko yang berbeda. Target return yang realistis bagi satu orang bisa menjadi jebakan berbahaya bagi yang lain.

Masalah ini menjadi semakin kompleks ketika pasar dalam fase tidak menentu. Saat harga saham bergerak liar, investor sering kali terombang-ambing antara rasa “greed” — keinginan untuk cepat kaya — dan “fear” — ketakutan kehilangan modal. Dalam kondisi seperti ini, banyak yang akhirnya mengambil keputusan emosional: membeli tanpa rencana, menjual karena panik, atau menetapkan target keuntungan yang tidak masuk akal. Padahal, menentukan target return yang sesuai dengan profil risiko pribadi adalah fondasi dari strategi investasi jangka panjang yang sehat.

Setiap investor perlu memahami bahwa tidak semua orang sanggup menanggung tingkat volatilitas yang sama. Investor agresif mungkin nyaman dengan fluktuasi harga harian yang tajam, sementara investor konservatif bisa kehilangan tidur hanya karena harga saham turun 5%. Sayangnya, banyak yang meniru gaya investasi orang lain tanpa menilai kapasitas risiko dirinya sendiri. Hasilnya: stres, kehilangan fokus, dan bahkan keluar dari pasar terlalu cepat.

Investor profesional tidak menilai keberhasilan dari seberapa besar return dalam jangka pendek, melainkan dari seberapa konsisten mereka mencapai tujuan finansial dalam jangka panjang. Mereka tahu bahwa strategi yang baik bukan yang paling cepat, tetapi yang paling sesuai dengan diri sendiri. Itulah mengapa menentukan target return dimulai bukan dari angka, tetapi dari pemahaman terhadap profil risiko pribadi.

Langkah pertama adalah menilai risk appetite, yaitu seberapa besar risiko yang siap dihadapi tanpa mengganggu kenyamanan psikologis. Misalnya, seseorang yang memiliki penghasilan tetap dan dana darurat yang cukup bisa mengambil risiko lebih besar dibandingkan mereka yang masih bergantung pada penghasilan bulanan tanpa cadangan keuangan. Investor juga perlu mempertimbangkan usia, tanggungan keluarga, dan tujuan investasi. Seorang mahasiswa yang berinvestasi untuk masa depan 10 tahun ke depan tentu memiliki ruang risiko yang berbeda dari karyawan yang menyiapkan dana pensiun lima tahun lagi.

Setelah memahami profil risiko, langkah berikutnya adalah menyesuaikan target return dengan instrumen investasi yang relevan. Investor konservatif biasanya lebih cocok dengan reksa dana pasar uang atau saham blue-chip yang stabil. Target return mereka berkisar antara 5–10% per tahun. Sementara investor moderat bisa menambah porsi saham berkapitalisasi menengah, dengan target return 10–15% per tahun. Bagi investor agresif, portofolio bisa diisi dengan saham pertumbuhan atau sektor yang sedang ekspansif, dengan potensi return di atas 20% — tentu dengan risiko yang sebanding.

Namun, target return tidak boleh ditentukan berdasarkan ekspektasi semata. Investor cerdas mengaitkannya dengan kondisi makroekonomi. Misalnya, ketika suku bunga tinggi dan likuiditas pasar mengetat, peluang pertumbuhan harga saham cenderung terbatas. Dalam situasi seperti ini, menargetkan return 30% jelas tidak realistis. Sebaliknya, ketika inflasi terkendali dan sektor-sektor produktif mulai pulih, target return bisa disesuaikan lebih optimis — tentu dengan pengawasan risiko yang ketat.

Kesalahan umum banyak investor adalah menetapkan target return tanpa memperhitungkan drawdown, yaitu potensi penurunan nilai portofolio dari puncak ke titik terendah. Investor yang menargetkan 20% keuntungan harus siap menghadapi potensi penurunan sekitar 10–15%. Jika tidak siap dengan volatilitas sebesar itu, lebih baik menurunkan target return ke tingkat yang lebih aman. Logika sederhana ini sering diabaikan karena dorongan emosional untuk mengejar hasil besar.

Selain itu, investor perlu menyadari bahwa return tidak harus datang dari capital gain saja. Dividen juga merupakan bagian dari total keuntungan yang sering kali diabaikan. Investor yang fokus pada saham dengan dividen stabil bisa mendapatkan aliran pendapatan rutin tanpa perlu berspekulasi pada fluktuasi harga. Pendekatan ini cocok untuk mereka yang mengutamakan kestabilan dibandingkan pertumbuhan cepat.

Investor bijak juga menggunakan benchmark sebagai panduan rasional. Misalnya, jika indeks IHSG tumbuh sekitar 8% per tahun, menargetkan return pribadi 10–12% sudah termasuk agresif dan realistis. Bandingkan dengan banyak investor baru yang menargetkan 50% atau bahkan 100% per tahun — angka yang tidak hanya sulit dicapai, tapi juga membuat mereka cenderung mengambil keputusan berisiko tinggi tanpa dasar analisis yang kuat.

Kunci dalam menentukan target return adalah keseimbangan antara ambisi dan logika. Investor tidak boleh membiarkan rasa serakah mengalahkan disiplin. Ketika pasar sedang euforia, banyak yang melupakan bahwa setiap lonjakan harga diikuti oleh fase koreksi. Begitu pula sebaliknya, ketika pasar tertekan, peluang justru terbuka bagi mereka yang sabar dan rasional. Target return yang sehat tidak lahir dari harapan, tetapi dari perencanaan dan pengendalian emosi.

Akhirnya, menentukan target return sesuai profil risiko bukan sekadar soal angka, melainkan soal memahami diri sendiri. Investor cerdas tahu bahwa tidak ada gunanya mengejar keuntungan besar jika hati tidak tenang setiap kali harga saham turun. Tujuan investasi bukan hanya memperbesar angka di portofolio, tetapi juga menjaga keseimbangan antara pertumbuhan kekayaan dan ketenangan pikiran.

Pantau data dan analisis investasi terkini hanya di emiten.com/info agar tidak tertinggal peluang berikutnya.

© 2025, magang. All rights reserved.

Artikel Lainnya oleh Tim editor emiten.com

Leave a Comment

Startup yang terus berkomitmen tingkatkan kualitas ekosistem pasar modal Indonesia

PT APLIKASI EMITEN INDONESIA