Dalam dunia investasi saham, banyak investor baru terjebak pada satu hal: emosi. Mereka membeli karena “takut ketinggalan” (fear of missing out) atau menjual karena “takut rugi”. Padahal, investor profesional tahu bahwa keputusan rasional selalu dimulai dari satu hal sederhana — valuasi. Dan salah satu alat paling klasik namun efektif untuk menilai valuasi adalah Price to Earnings Ratio atau P/E Ratio.
Namun sayangnya, banyak investor memakainya dengan cara yang salah. Ada yang hanya membandingkan angka tanpa memahami konteks, ada juga yang menilai saham murah hanya karena P/E-nya kecil. Padahal, seperti semua alat investasi, P/E Ratio tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus dibaca dengan logika pasar, memahami siklus bisnis, serta melihat kualitas pendapatan dari emiten tersebut.
Di pasar saham Indonesia, investor sering kali menjadikan P/E Ratio sebagai “kompas” awal sebelum melakukan analisis mendalam. Misalnya, jika sektor perbankan memiliki rata-rata P/E di kisaran 15–20 kali, dan sebuah bank besar mencatat P/E hanya 10 kali, itu bisa menjadi tanda undervalued. Tapi di sinilah jebakannya: apakah laba bank tersebut stabil, atau justru sedang turun karena risiko kredit? Logika rasional mengharuskan investor tidak sekadar menghitung angka, tetapi memahami cerita di baliknya.
Kondisi ekonomi makro juga memainkan peran besar dalam menafsirkan P/E Ratio. Ketika suku bunga rendah dan pertumbuhan ekonomi kuat, investor cenderung memberikan valuasi tinggi terhadap saham, sehingga P/E naik. Sebaliknya, ketika ketidakpastian meningkat — seperti saat inflasi tinggi atau ketegangan geopolitik — valuasi pasar cenderung turun karena fear mendominasi psikologi investor. Dalam konteks ini, memahami P/E Ratio bukan hanya soal “berapa besar angkanya”, tapi juga “mengapa pasar memberikan valuasi sebesar itu.”
Investor cerdas memahami bahwa greed dan fear selalu bergantian menggerakkan pasar. Saat greed tinggi, banyak saham menjadi overvalued — P/E Ratio naik jauh di atas rata-rata historis. Sementara saat fear menguasai, investor panik menjual dan harga saham jatuh, membuat P/E tampak rendah. Di sinilah kesempatan muncul: membeli saham berkualitas ketika pasar takut, bukan ketika pasar serakah. Prinsip klasik Warren Buffett “be fearful when others are greedy, and greedy when others are fearful” menjadi panduan abadi dalam membaca P/E Ratio dengan bijak.
Contoh nyata bisa dilihat pada masa pandemi 2020. Banyak emiten dengan kinerja kuat diperdagangkan pada valuasi sangat rendah karena kepanikan pasar. Beberapa tahun kemudian, saham-saham tersebut justru menjadi pemenang besar setelah ekonomi pulih. Investor yang menilai P/E secara rasional, bukan emosional, mampu memanfaatkan fase fear untuk masuk di titik valuasi menarik.
Tentu saja, P/E Ratio tidak selalu cocok untuk semua jenis saham. Untuk perusahaan dengan laba fluktuatif, seperti emiten komoditas atau startup teknologi, angka P/E bisa menyesatkan. Dalam kasus seperti ini, investor sebaiknya menggunakan pendekatan lain seperti Price to Book Value (PBV) atau Discounted Cash Flow (DCF) untuk mendapatkan gambaran valuasi yang lebih realistis.
Selain itu, penting juga membandingkan P/E Ratio antar sektor. Saham perbankan dengan P/E 15 mungkin masih wajar, tetapi untuk sektor infrastruktur atau energi, angka tersebut bisa dianggap tinggi. Investor profesional selalu membandingkan valuasi terhadap rata-rata sektoral dan historis untuk menentukan apakah sebuah saham layak beli atau tidak.
Menggunakan P/E Ratio secara rasional berarti memadukan angka dengan konteks. Investor perlu menilai apakah laba perusahaan tersebut berkelanjutan, apakah ada potensi pertumbuhan di masa depan, dan bagaimana manajemen mengelola risiko. Dalam arti luas, P/E Ratio bukan alat untuk “mencari saham murah”, tetapi untuk menilai “apakah harga wajar dengan potensi ke depan.”
Strategi terbaik adalah menjadikan P/E Ratio sebagai alat konfirmasi, bukan satu-satunya indikator keputusan. Misalnya, setelah menemukan emiten dengan bisnis solid dan prospek cerah, investor dapat melihat apakah valuasinya masih wajar. Jika P/E Ratio jauh di bawah rata-rata industri, itu bisa jadi peluang. Tapi jika terlalu tinggi, investor perlu berhati-hati — mungkin pasar sudah terlalu optimis.
Inti dari semua ini adalah disiplin berpikir. Investor yang bergantung pada rumor, euforia, atau bisikan pasar akan mudah terseret arus greed dan fear. Tapi mereka yang berpegang pada data dan logika, akan mampu melihat nilai sebenarnya dari sebuah saham di balik fluktuasi jangka pendek.
Pada akhirnya, menggunakan P/E Ratio dengan benar bukan hanya soal hitung-hitungan, tapi soal mindset. Ketika kita melihat pasar dengan logika, bukan emosi, kita sedang berinvestasi — bukan berspekulasi.
Pantau data dan analisis investasi terkini hanya di emiten.com/info agar tidak tertinggal peluang berikutnya.
© 2025, magang. All rights reserved.