Banyak investor percaya bahwa mereka selalu bertindak rasional saat mengambil keputusan investasi. Namun, kenyataannya, emosi sering kali menyelinap dalam proses berpikir tanpa disadari. Ketika harga saham naik, rasa greed (serakah) membuat mereka takut tertinggal. Sebaliknya, saat pasar turun, rasa fear (takut) mendorong mereka untuk menjual terlalu cepat. Inilah yang disebut bias kognitif — jebakan psikologis yang membuat keputusan investasi menjadi tidak objektif.
Bayangkan seorang investor pemula yang baru saja mengalami kenaikan harga besar pada saham teknologi. Ia berpikir bahwa tren itu akan terus berlanjut, lalu membeli lebih banyak tanpa analisis mendalam. Beberapa minggu kemudian, harga saham anjlok, dan ia panik menjual di harga rendah. Dalam kasus ini, bukan pasar yang sepenuhnya salah — melainkan pola pikir yang terjebak dalam bias optimisme berlebihan.
Setiap manusia memiliki kecenderungan alami untuk memvalidasi keputusan mereka sendiri, bahkan ketika data di depan mata menunjukkan sebaliknya. Bias ini muncul karena otak manusia mencari kenyamanan daripada kebenaran. Pertanyaannya, bagaimana investor bisa melawan kecenderungan alamiah ini agar keputusan tetap logis dan objektif?
Untuk memahami akar masalahnya, kita perlu melihat bagaimana bias kognitif bekerja dalam konteks pasar keuangan. Bias “confirmation” membuat investor hanya mencari informasi yang mendukung keyakinannya. Misalnya, ketika seseorang percaya bahwa sektor properti akan naik, ia hanya membaca berita positif dan mengabaikan risiko kenaikan suku bunga. Ada juga bias “recency”, di mana investor terlalu fokus pada pergerakan jangka pendek tanpa melihat tren jangka panjang. Akibatnya, strategi investasi menjadi reaktif, bukan strategis.
Dalam situasi seperti 2020–2021 ketika pasar saham global melonjak karena stimulus besar-besaran, banyak investor mengalami bias “overconfidence”. Mereka merasa keputusan investasi mereka hebat karena portofolio terus naik. Padahal, sebagian besar kenaikan itu didorong oleh faktor eksternal, bukan kemampuan analisis individu. Ketika stimulus dihentikan dan inflasi meningkat, pasar terkoreksi, dan banyak yang tidak siap menghadapi kenyataan baru.
Investor cerdas memahami bahwa kesalahan terbesar bukan berasal dari analisis yang salah, tetapi dari emosi yang tidak terkendali. Mereka tahu bahwa setiap keputusan harus diuji dengan data dan logika, bukan hanya perasaan. Saat pasar naik terlalu cepat, mereka berhenti sejenak untuk bertanya, “Apakah ini masih rasional, atau hanya efek euforia?” Begitu juga ketika pasar turun tajam — mereka melihat apakah penurunan itu didasari fundamental atau hanya kepanikan sesaat.
Lalu, bagaimana cara konkret menghindari bias kognitif dalam investasi? Langkah pertama adalah menyadari bahwa bias selalu ada, bahkan pada investor berpengalaman sekalipun. Dengan kesadaran itu, investor dapat mulai memeriksa pola pikirnya sendiri sebelum mengambil keputusan. Misalnya, ketika ingin membeli saham, tanyakan: “Apakah saya tertarik karena datanya kuat, atau hanya karena semua orang membicarakannya?”
Langkah kedua adalah menerapkan disiplin pada proses analisis. Gunakan data kuantitatif seperti rasio keuangan, tren pendapatan, atau nilai intrinsik untuk menyeimbangkan opini subjektif. Hindari keputusan spontan akibat berita viral atau rumor pasar. Investor yang tenang tahu bahwa rumor hanyalah suara latar, sedangkan data adalah fondasi utama investasi rasional.
Langkah ketiga adalah membangun sistem “review pribadi”. Catat setiap keputusan investasi dan alasannya, lalu evaluasi hasilnya setelah beberapa waktu. Dengan begitu, investor bisa melihat apakah keputusan sebelumnya dipengaruhi oleh bias atau didasarkan pada analisis murni. Proses refleksi ini membantu menumbuhkan kedewasaan finansial — kualitas penting yang membedakan investor pemula dari investor profesional.
Selain itu, diversifikasi portofolio juga berperan penting dalam menjaga objektivitas. Ketika portofolio tersebar di berbagai sektor atau instrumen, tekanan emosional terhadap satu aset akan berkurang. Investor tidak akan terlalu terikat pada satu saham dan dapat berpikir lebih jernih dalam menilai peluang. Prinsip ini bukan hanya soal manajemen risiko, tetapi juga strategi mental untuk menjaga keseimbangan psikologis.
Pada akhirnya, keputusan investasi yang baik bukan tentang mencari “pasti untung”, melainkan tentang membuat keputusan yang logis di tengah ketidakpastian. Investor rasional memahami bahwa pasar selalu bergerak di antara dua emosi besar: greed dan fear. Dengan menyadari dan mengelola bias kognitif, mereka bisa tetap tenang bahkan ketika grafik harga tampak menakutkan.
Investasi bukanlah permainan cepat, melainkan perjalanan panjang menuju kebijaksanaan finansial. Karena itu, setiap langkah harus diambil dengan kesadaran penuh, bukan impuls emosional. Semakin mampu seseorang mengenali bias dalam dirinya, semakin tajam pula naluri investasinya.
Pantau data dan analisis investasi terkini hanya di emiten.com/info agar tidak tertinggal peluang berikutnya.
© 2025, magang. All rights reserved.