Di dunia investasi, rumor bergerak lebih cepat dari data. Satu bisikan di forum saham, grup Telegram, atau media sosial bisa membuat harga melonjak sesaat—lalu anjlok keesokan harinya. Banyak investor pemula terjebak dalam pola ini: membeli karena “katanya bakal naik,” lalu panik menjual ketika harga tiba-tiba berbalik arah. Mereka lebih percaya pada desas-desus daripada analisis, padahal pasar saham tidak bergerak karena rumor, melainkan karena logika dan fundamental.

Fenomena ini sering terjadi di pasar yang volatil, terutama ketika muncul isu besar seperti pergantian pejabat ekonomi, perubahan suku bunga, atau kabar merger antar perusahaan besar. Di momen seperti itu, rasa “greed” (serakah) dan “fear” (takut) bekerja lebih kuat daripada logika. Investor yang tidak punya landasan analisis mudah terbawa arus. Mereka membeli di puncak euforia dan menjual di dasar ketakutan. Padahal, investor cerdas tahu bahwa rumor hanyalah kebisingan jangka pendek yang sering kali menyesatkan arah berpikir.

Masalahnya bukan pada rumor itu sendiri, tetapi pada bagaimana investor bereaksi terhadapnya. Banyak orang tidak sadar bahwa setiap rumor di pasar memiliki motif: ada yang ingin menaikkan harga (pump), ada yang ingin menurunkan harga (dump), dan ada pula yang hanya ingin menciptakan kekacauan opini agar publik bingung. Ketika investor mengambil keputusan tanpa memeriksa data, mereka sedang menyerahkan uangnya pada permainan psikologi orang lain.

Investor profesional memiliki pendekatan berbeda. Mereka paham bahwa rumor bisa memicu volatilitas yang menguntungkan jika disikapi dengan tenang. Alih-alih ikut panik, mereka memanfaatkan situasi untuk melihat apakah rumor tersebut benar-benar berdampak pada kinerja fundamental perusahaan. Jika tidak, mereka tetap tenang dan melihatnya sebagai peluang untuk membeli di harga diskon.

Dalam konteks pasar Indonesia, hal ini sering terlihat pada saham-saham yang likuid di sektor pertambangan atau teknologi. Begitu muncul kabar “ada investor asing masuk,” banyak investor ritel berbondong-bondong membeli tanpa tahu apakah informasi tersebut valid. Namun beberapa hari kemudian, ketika harga terkoreksi, barulah kesadaran datang: mereka tidak membeli saham, mereka membeli rumor. Investor cerdas tidak akan membiarkan dirinya menjadi bagian dari siklus itu.

Ada alasan logis mengapa rumor begitu menarik: karena ia memicu adrenalin dan harapan cepat kaya. Tapi di sinilah jebakannya. Pasar saham adalah arena di mana emosi kolektif menentukan harga dalam jangka pendek, sementara nilai fundamental menentukan harga dalam jangka panjang. Rumor bisa memberi kesan bahwa kita sedang memegang “informasi eksklusif”, padahal sering kali informasi itu sudah disebarkan justru agar investor kecil bereaksi berlebihan.

Investor cerdas memahami bahwa informasi yang benar-benar berharga jarang diumumkan secara terbuka dan jarang bersifat mendesak. Mereka lebih memilih membaca laporan keuangan, mengikuti rilis resmi emiten, dan memantau data ekonomi makro seperti inflasi, suku bunga, serta harga komoditas dunia. Data tidak berteriak seperti rumor, tapi berbicara dengan konsistensi. Dan dalam jangka panjang, konsistensi selalu mengalahkan kegaduhan sesaat.

Salah satu prinsip penting dalam menghadapi rumor pasar adalah disiplin terhadap strategi sendiri. Investor bijak tahu kapan harus menunggu dan kapan harus bertindak. Ketika rumor muncul, mereka bertanya: “Apakah informasi ini benar-benar mengubah nilai perusahaan?” Jika jawabannya tidak, mereka memilih diam. Mereka tahu bahwa tidak bereaksi adalah keputusan terbaik dalam banyak situasi.

Selain itu, investor cerdas selalu menilai sumber informasi. Mereka tidak hanya melihat isi berita, tetapi juga siapa yang menyebarkannya. Rumor tanpa sumber resmi ibarat sinyal palsu — bisa menggiring opini untuk keuntungan pihak tertentu. Karena itu, mereka hanya mempercayai data yang dapat diverifikasi dari laporan tahunan, siaran pers resmi BEI, atau pernyataan langsung dari manajemen perusahaan.

Mengelola psikologi juga menjadi bagian dari strategi menghadapi rumor. Ketika pasar dipenuhi ketakutan, investor yang berpikir rasional akan tetap fokus pada nilai jangka panjang. Sebaliknya, ketika pasar dipenuhi keserakahan, mereka justru lebih berhati-hati. Prinsip ini menjaga mereka dari keputusan ekstrem yang biasanya lahir karena tekanan emosi. Dalam dunia investasi, self-control adalah bentuk kecerdasan tertinggi.

Investor cerdas juga memanfaatkan teknologi untuk memantau berita dan data pasar dengan lebih objektif. Mereka menggunakan sumber resmi seperti laporan BEI, data ekonomi Bank Indonesia, dan publikasi OJK untuk menilai validitas informasi. Dengan begitu, mereka dapat membedakan mana rumor yang hanya mengguncang opini, dan mana data yang benar-benar mengguncang pasar.

Akhirnya, memahami rumor bukan berarti menghindarinya sepenuhnya. Investor bijak tahu bahwa rumor adalah bagian alami dari dinamika pasar. Namun mereka memilih untuk mendengar tanpa langsung percaya, mengamati tanpa bereaksi, dan bertindak hanya berdasarkan logika. Dalam jangka panjang, keputusan yang diambil dengan tenang akan selalu lebih menguntungkan daripada keputusan yang diambil dengan tergesa-gesa karena kabar yang belum tentu benar.

Pasar akan selalu dipenuhi suara-suara yang saling bertentangan. Tapi di antara kebisingan itu, investor cerdas tahu bagaimana tetap fokus pada arah kompasnya: data, analisis, dan strategi. Karena pada akhirnya, keberhasilan investasi tidak ditentukan oleh siapa yang paling cepat bereaksi terhadap rumor, melainkan siapa yang paling sabar menunggu hasil dari keputusan rasionalnya.

Pantau data dan analisis investasi terkini hanya di emiten.com/info agar tidak tertinggal peluang berikutnya.

© 2025, magang. All rights reserved.

Artikel Lainnya oleh Tim editor emiten.com

Leave a Comment

Startup yang terus berkomitmen tingkatkan kualitas ekosistem pasar modal Indonesia

PT APLIKASI EMITEN INDONESIA