Banyak investor kehilangan arah ketika pasar saham sedang lesu. Harga-harga stagnan, sentimen negatif merebak, dan media terus memberitakan pelemahan ekonomi global. Dalam situasi seperti itu, sebagian orang memilih menjual semua asetnya karena fear menguasai pikiran mereka. Namun, sebagian kecil investor justru tetap tenang — bahkan berhasil menumbuhkan portofolionya saat orang lain kehilangan harapan. Apa rahasia mereka? Jawabannya bukan keberuntungan, melainkan strategi dan disiplin.

Kondisi pasar lesu sering membuat investor merasa tidak ada peluang. Padahal, saat inilah aset berkualitas biasanya berada di harga undervalue. Investor yang berpengalaman memahami bahwa pasar bergerak dalam siklus, dan tidak ada fase bearish yang berlangsung selamanya. Justru di masa inilah keputusan logis dan tenang sangat berperan. Mereka tahu, pasar yang lemah bukan sinyal untuk menyerah, tetapi kesempatan untuk menyusun ulang strategi.

IHSG sering kali melemah ketika tekanan global meningkat, misalnya akibat kenaikan suku bunga atau perlambatan ekonomi dunia. Investor asing keluar, likuiditas menurun, dan harga saham bergerak lambat. Namun, data historis menunjukkan bahwa setelah setiap fase koreksi, pasar Indonesia selalu pulih dengan pola yang lebih sehat. Investor yang sabar dan fokus pada kualitas bisnis justru menikmati hasil terbesar begitu pasar kembali pulih.

Kesalahan umum investor ritel adalah bereaksi berlebihan terhadap fluktuasi jangka pendek. Mereka menjual saham bagus hanya karena takut harga turun sedikit lebih dalam. Padahal, perusahaan dengan fundamental kuat justru bisa bertahan dan tumbuh meski ekonomi melambat. Greed dan fear adalah dua sisi psikologi pasar yang menentukan arah keputusan. Investor profesional berusaha menjaga keseimbangan di antara keduanya — tidak terlalu serakah saat pasar naik, dan tidak panik ketika pasar jatuh.

Langkah pertama dalam mengatur portofolio di masa pasar lesu adalah mengevaluasi ulang komposisi aset. Investor perlu melihat proporsi antara saham, obligasi, dan dana tunai. Ketika volatilitas tinggi, menjaga porsi kas lebih besar bisa menjadi strategi bertahan yang efektif. Namun, bukan berarti berhenti berinvestasi. Dana tunai tersebut dapat dialokasikan secara bertahap untuk membeli saham berkualitas di harga rendah melalui strategi dollar cost averaging.

Selanjutnya, fokuslah pada saham yang memiliki fundamental kuat dan arus kas stabil. Sektor seperti konsumer, kesehatan, dan infrastruktur biasanya tetap bertahan karena permintaan terhadap produk dan jasanya tidak banyak terpengaruh siklus ekonomi. Dalam fase ini, investor perlu lebih rasional dan berhenti mencari saham “paling cepat naik.” Sebaliknya, carilah saham yang bisa menjaga nilai portofolio dalam jangka panjang.

Investor profesional juga memahami pentingnya manajemen risiko. Saat pasar tidak menentu, posisi yang terlalu besar pada satu saham dapat berbahaya. Diversifikasi menjadi kunci untuk menjaga portofolio tetap stabil. Jika satu sektor melemah, sektor lain dapat menyeimbangkan kerugian. Namun, diversifikasi yang efektif bukan berarti menyebar secara acak — melainkan memilih aset yang pergerakannya tidak saling berkorelasi tinggi.

Selain itu, penting untuk tetap mengikuti indikator makroekonomi seperti inflasi, nilai tukar, dan kebijakan suku bunga. Ketika Bank Indonesia memberi sinyal pelonggaran kebijakan moneter, biasanya pasar saham mulai bergerak lebih positif. Investor yang peka terhadap perubahan ini dapat menyesuaikan portofolio lebih cepat dibanding yang hanya menunggu “sinyal jelas.” Informasi dan kesabaran adalah senjata utama dalam menghadapi pasar lesu.

Di tengah ketidakpastian, banyak investor kehilangan arah karena fokus pada harga, bukan nilai. Padahal, pasar yang lesu sering kali justru menjadi tempat terbaik untuk menemukan peluang tersembunyi. Saham-saham yang sedang tertekan bisa menjadi pemenang besar dalam dua atau tiga tahun ke depan. Syaratnya satu: berinvestasilah dengan logika, bukan emosi. Jangan biarkan rasa takut membuatmu melewatkan peluang jangka panjang.

Kunci dari strategi bertahan di masa pasar lesu adalah menjaga mental tetap tenang dan disiplin pada rencana. Lakukan evaluasi portofolio secara berkala, kurangi posisi di saham yang fundamentalnya melemah, dan tambahkan pada saham yang tetap menunjukkan kinerja kuat meski kondisi ekonomi sulit. Disiplin semacam ini tidak hanya menjaga nilai portofolio, tetapi juga memperkuat mental investor agar siap menghadapi siklus berikutnya.

Ingatlah bahwa pasar tidak selalu bergerak sesuai keinginan kita. Ada saatnya turun, stagnan, dan naik kembali. Namun, bagi investor yang mengelola portofolionya dengan bijak, setiap fase tetap bisa memberikan pertumbuhan. Yang membedakan hasil akhir bukan kondisi pasar, melainkan cara berpikir dan strategi yang diterapkan.

Investasi bukan soal menebak waktu terbaik, melainkan mengelola risiko dengan cerdas. Ketika investor lain dikuasai fear, jadilah orang yang menggunakan logika. Di situlah keuntungan jangka panjang lahir — bukan dari spekulasi, melainkan dari keputusan yang konsisten dan terukur.

Pantau data dan analisis investasi terkini hanya di emiten.com/info agar tidak tertinggal peluang berikutnya.

© 2025, magang. All rights reserved.

Artikel Lainnya oleh Tim editor emiten.com

Leave a Comment

Startup yang terus berkomitmen tingkatkan kualitas ekosistem pasar modal Indonesia

PT APLIKASI EMITEN INDONESIA