Ketika suku bunga naik, sektor properti biasanya menjadi salah satu yang paling tertekan. Alasannya sederhana: biaya pinjaman meningkat, kredit kepemilikan rumah melambat, dan pengembang harus menanggung bunga utang yang lebih tinggi. Bagi investor, situasi ini menimbulkan dilema klasik — apakah saat yang tepat untuk membeli saham properti karena harganya turun, atau justru menjauh karena risiko meningkat? Jawabannya tidak sesederhana “jual” atau “beli”, karena investor profesional tahu bahwa dalam setiap tekanan, selalu ada peluang tersembunyi.
Salah satu kesalahan umum investor pemula adalah bereaksi berlebihan terhadap fear di pasar. Ketika berita tentang kenaikan suku bunga muncul, banyak yang panik dan menjual tanpa analisis mendalam. Padahal, fluktuasi suku bunga adalah bagian alami dari siklus ekonomi. Yang lebih penting bukan naik atau turunnya suku bunga, melainkan bagaimana perusahaan properti beradaptasi. Investor yang berpengalaman justru menggunakan momen seperti ini untuk menilai ulang fundamental perusahaan dan mencari potensi undervalued.
Dalam kondisi tight monetary policy, investor harus memeriksa tiga hal utama pada emiten properti. Pertama, struktur utang. Perusahaan dengan beban bunga tinggi akan sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga. Jika sebagian besar utangnya berjangka pendek atau menggunakan bunga mengambang, risikonya meningkat. Kedua, cadangan kas dan arus kas operasi. Emiten yang masih mencetak arus kas positif dari penjualan dan memiliki posisi kas kuat lebih mampu bertahan dalam tekanan. Ketiga, pipeline proyek. Perusahaan yang memiliki proyek siap jual di segmen menengah ke atas biasanya tetap mencetak penjualan, karena permintaan dari kelompok ini lebih tahan terhadap kenaikan bunga.
Selain faktor keuangan, lokasi proyek juga berperan penting dalam menilai nilai intrinsik saham properti. Sektor ini bersifat sangat lokal dan sensitif terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya, proyek di kawasan dengan infrastruktur baru atau dekat transportasi publik masih memiliki prospek meski bunga naik. Investor profesional tidak hanya melihat laporan keuangan, tetapi juga tren makro dan arah kebijakan pemerintah.
Kenaikan suku bunga juga menguji manajemen risiko perusahaan. Emiten dengan manajemen yang cerdas biasanya telah melakukan lindung nilai (hedging) terhadap bunga pinjaman atau menyeimbangkan portofolio proyeknya antara segmen hunian, komersial, dan sewa. Diversifikasi model bisnis ini penting untuk menjaga stabilitas pendapatan. Misalnya, pengembang yang memiliki bisnis recurring income seperti mal, hotel, atau perkantoran akan lebih tahan terhadap perlambatan penjualan unit properti baru.
Di sisi lain, investor tidak boleh sepenuhnya pesimis. Dalam setiap fase kenaikan suku bunga, selalu ada emiten yang justru memperkuat posisi. Mereka memanfaatkan waktu lesu untuk membeli lahan dengan harga diskon atau melakukan efisiensi operasional. Ketika siklus bunga berbalik menurun, perusahaan-perusahaan ini biasanya muncul sebagai pemenang. Itulah mengapa investor profesional menilai saham properti bukan berdasarkan kondisi pasar saat ini, tetapi pada potensi mereka setelah siklus berbalik.
Psikologi pasar di fase ini sangat dipengaruhi oleh greed dan fear. Ketika fear mendominasi, harga saham bisa jatuh jauh di bawah nilai wajarnya. Namun bagi investor yang sabar dan rasional, situasi seperti itu adalah kesempatan langka. Sebaliknya, ketika pasar mulai euforia karena ekspektasi penurunan suku bunga, greed mengambil alih dan harga sering naik terlalu cepat. Kuncinya adalah menjaga keseimbangan emosi dan logika, menilai risiko dan peluang secara proporsional.
Menilai saham properti saat bunga naik juga membutuhkan pandangan terhadap valuasi aset bersih (NAV). Banyak saham properti di Indonesia diperdagangkan dengan diskon besar terhadap nilai wajar asetnya. Namun tidak semua diskon berarti murah — penting untuk menilai apakah aset tersebut likuid, produktif, dan memiliki potensi monetisasi dalam jangka menengah. Perusahaan yang mampu mengubah tanah menjadi arus kas riil akan memiliki nilai lebih dibanding sekadar memiliki banyak aset yang diam.
Investor profesional juga mempertimbangkan siklus konsumsi masyarakat dan tingkat kepercayaan konsumen. Saat inflasi tinggi dan bunga naik, daya beli melemah. Namun, permintaan hunian pertama dan segmen sewa jangka panjang biasanya tetap stabil. Perusahaan yang fokus pada kebutuhan primer ini lebih tahan banting dibanding yang mengandalkan penjualan spekulatif.
Strategi lain yang digunakan oleh investor senior adalah mencicil posisi bertahap (averaging down). Mereka tidak menunggu momen paling bawah karena tahu bahwa timing pasar tidak bisa diprediksi dengan sempurna. Dengan membeli bertahap pada saham-saham properti berfundamental kuat, mereka memanfaatkan volatilitas untuk mendapatkan harga rata-rata yang menarik. Prinsipnya sederhana: jangan mengejar harga, kejar nilai.
Dalam menghadapi fase high interest rate, mindset menjadi faktor penentu. Investor yang hanya fokus pada ketakutan akan kehilangan momentum sering membuat keputusan emosional. Sebaliknya, mereka yang berpikir panjang melihat fase ini sebagai kesempatan untuk menyiapkan portofolio jangka panjang dengan harga lebih rendah. Saat bunga kembali turun, harga properti dan sahamnya biasanya rebound lebih cepat daripada sektor lain.
Investor juga bisa memanfaatkan diversifikasi untuk menyeimbangkan risiko. Misalnya, mengombinasikan saham properti dengan sektor perbankan atau infrastruktur yang bisa diuntungkan dari kenaikan bunga. Dengan cara ini, portofolio menjadi lebih adaptif terhadap perubahan siklus ekonomi. Diversifikasi bukan hanya soal membagi aset, tetapi juga menjaga kestabilan psikologis agar tidak terpancing panic selling.
Dalam kesimpulan, menilai saham properti saat suku bunga naik drastis bukan tentang menebak arah pasar, melainkan memahami struktur bisnis dan daya tahan perusahaan terhadap tekanan ekonomi. Investor yang logis tahu bahwa pasar selalu bergerak dalam siklus — tidak ada naik tanpa turun, tidak ada turun tanpa peluang. Yang penting adalah menjaga rasionalitas di tengah volatilitas.
Fear membuat investor menjual terlalu cepat, sementara greed membuat mereka membeli tanpa analisis. Di antara dua ekstrem itu, ada ruang untuk berpikir jernih dan mengambil keputusan berdasarkan nilai, bukan emosi.
Pantau analisis dan pembaruan pasar modal hanya di emiten.com/info agar kamu tidak tertinggal peluang berikutnya dan bisa menilai setiap siklus dengan tenang dan terarah.
© 2025, magang. All rights reserved.