Beberapa tahun terakhir, investor di Indonesia mulai melirik emiten startup yang bersiap melantai di bursa. Euforia pasar terhadap IPO startup seperti GOTO atau BUKA menunjukkan bahwa minat terhadap sektor digital sangat tinggi. Banyak yang percaya bahwa perusahaan berbasis teknologi memiliki potensi pertumbuhan luar biasa karena perubahan gaya hidup masyarakat ke arah digitalisasi. Namun di balik antusiasme tersebut, banyak investor yang masih kebingungan: bagaimana cara menilai potensi sebuah startup sebelum IPO, ketika laporan keuangannya belum stabil dan valuasinya sering kali melambung tinggi?

Kondisi ini memperlihatkan dilema klasik antara greed dan fear. Di satu sisi, ada dorongan untuk tidak ketinggalan momentum besar — fear of missing out (FOMO). Di sisi lain, ada ketakutan bahwa valuasi yang terlalu tinggi justru menjadi bumerang ketika harga saham mulai terkoreksi. Investor yang hanya mengikuti hype pasar sering kali terjebak membeli di puncak euforia dan akhirnya menanggung kerugian ketika harga mulai turun. Inilah sebabnya mengapa menilai potensi startup sebelum IPO membutuhkan logika analitis, bukan sekadar perasaan.

Startup berbeda dengan perusahaan konvensional karena mereka biasanya belum mencetak keuntungan pada tahap awal. Namun, bukan berarti mereka tidak memiliki nilai. Kuncinya adalah memahami sumber nilai dari model bisnisnya. Investor harus menilai apakah perusahaan tersebut memiliki moat — keunggulan kompetitif yang sulit ditiru. Misalnya, basis pengguna yang besar, jaringan distribusi yang luas, atau teknologi eksklusif. Semakin kuat moat yang dimiliki, semakin tinggi potensi perusahaan bertahan dan berkembang setelah IPO.

Selain itu, penting juga menilai apakah model bisnis startup tersebut scalable — mampu tumbuh cepat tanpa peningkatan biaya yang signifikan. Perusahaan dengan model bisnis digital murni seperti software-as-a-service (SaaS) biasanya memiliki potensi margin yang tinggi karena biaya operasional bertambah sedikit meski jumlah pengguna meningkat drastis. Sebaliknya, startup dengan model bisnis yang padat modal seperti logistik atau transportasi sering kali menghadapi tantangan profitabilitas dalam jangka panjang, meski pertumbuhan pengguna terlihat pesat.

Investor juga perlu memperhatikan unit economics, yaitu rasio antara pendapatan dan biaya per pengguna. Jika biaya akuisisi pelanggan (CAC) jauh lebih besar daripada pendapatan yang dihasilkan per pelanggan (LTV), maka bisnis tersebut masih belum efisien. Banyak startup gagal karena mereka terus “membakar uang” tanpa memiliki rencana jelas menuju profitabilitas. Jadi, sebelum IPO, penting untuk mencari tanda-tanda bahwa perusahaan sudah mendekati break-even point atau memiliki strategi jelas untuk mencapainya.

Aspek lain yang sering diabaikan adalah kualitas manajemen dan visi jangka panjang. Startup yang dipimpin oleh pendiri dengan pengalaman kuat dan fokus pada inovasi biasanya memiliki arah strategis yang lebih solid. Sebaliknya, jika kepemimpinan sering berganti atau manajemen terlihat terlalu fokus pada ekspansi tanpa dasar keuangan yang kuat, investor perlu waspada. Keberhasilan startup di pasar publik tidak hanya ditentukan oleh ide, tetapi juga oleh disiplin eksekusi dan kemampuan membaca arah pasar.

Dari sisi valuasi, investor harus lebih kritis. Banyak startup yang datang ke pasar dengan valuasi tinggi karena popularitasnya, bukan karena fundamental bisnisnya. Dalam menilai valuasi, gunakan pendekatan relative valuation seperti Price-to-Sales (P/S) ratio, terutama jika laba bersih belum positif. Bandingkan dengan perusahaan sejenis di pasar global atau regional untuk melihat apakah harga IPO wajar. Investor cerdas juga memperhatikan prospek pertumbuhan pendapatan dalam 3–5 tahun ke depan, bukan hanya performa saat ini.

Selain aspek keuangan, faktor eksternal seperti regulasi dan ekosistem juga penting. Di Indonesia, banyak startup bergantung pada kebijakan pemerintah, infrastruktur digital, dan perilaku konsumen. Misalnya, dukungan terhadap pembayaran digital atau adopsi e-commerce yang cepat bisa mempercepat pertumbuhan. Namun, perubahan regulasi pajak digital atau kebijakan perlindungan data bisa menjadi risiko signifikan. Investor bijak selalu memasukkan faktor makroekonomi dan politik dalam analisisnya.

Perlu diingat, IPO bukan akhir perjalanan startup, melainkan awal dari pengujian pasar terhadap kinerja sebenarnya. Setelah IPO, tekanan untuk mencapai profitabilitas dan transparansi laporan keuangan akan meningkat. Investor yang terlalu fokus pada potensi pertumbuhan tanpa menilai keberlanjutan bisnis bisa kecewa ketika realitas pasar tidak seindah proyeksi awal. Oleh karena itu, menilai potensi startup sebelum IPO berarti menilai sustainability, bukan sekadar pertumbuhan cepat.

Untuk investor yang masih baru, strategi terbaik adalah bersabar dan memantau beberapa kuartal pertama setelah IPO sebelum ikut berpartisipasi. Langkah ini memberikan waktu untuk melihat bagaimana perusahaan beradaptasi dengan tuntutan pasar publik dan bagaimana manajemennya menanggapi tantangan keuangan nyata. Investor profesional selalu mengutamakan data dan bukti, bukan narasi dan hype.

Pada akhirnya, menilai potensi emiten startup sebelum IPO adalah tentang keseimbangan antara optimisme dan kehati-hatian. Pasar mungkin bergerak karena cerita besar, tetapi nilai jangka panjang hanya tumbuh dari fundamental yang kuat. Investor cerdas tahu bahwa dalam dunia startup, tidak semua yang bersinar adalah emas.

Pantau data dan analisis investasi terkini hanya di emiten.com/info agar tidak tertinggal peluang berikutnya.

© 2025, magang. All rights reserved.

Artikel Lainnya oleh Tim editor emiten.com

Leave a Comment

Startup yang terus berkomitmen tingkatkan kualitas ekosistem pasar modal Indonesia

PT APLIKASI EMITEN INDONESIA