Saat sebuah perusahaan atau badan kelembagaan lainnya menjalankan sebuah usaha dan di tengah jalan mengalami kendala dalam hal pelunasan utang pinjaman, maka hal tersebut bisa mengancam terjadinya kepailitan. Pailit merupakan suatu kondisi di mana pihak peminjam atau debitur tidak mampu melunasi utangnya di lebih dari satu sumber pinjaman, sehingga dapat mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan bisa diinisiasi oleh debitur maupun kreditur. Sesungguhnya, kepailitan tidak hanya dialami oleh perusahaan atau kelembagaan saja, tetapi dapat pula dialami secara perseorangan karena pengajuan pinjaman dapat dilakukan oleh berbagai pihak.

Status kepailitan hanya dapat diputuskan oleh lembaga peradilan dan hasil keputusan tersebut wajib dilaksanakan serta diawasi hingga kewajiban pelunasan kredit pinjaman berhasil diselesaikan. Pailit dinilai begitu membebani karena memaksa pihak debitur untuk melakukan berbagai cara agar seluruh utang bisa dilunasi, termasuk dengan menjual aset yang dimiliki.

Lantas, bagaimana jika pihak debitur sama sekali tidak mampu melunasi segala utang-utangnya? Apakah terdapat alternatif pemecahan masalah lainnya yang bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan permasalahan ini? Jawabannya tentu ada dan hal itu disebut dengan insolvensi. Insolvensi merupakan ketidakmampuan pihak debitur untuk membayar seluruh utangnya secara tepat waktu karena didasari oleh jumlah kewajiban pembayaran pinjaman yang melebihi aset.

Pengertian insolvensi tertera resmi dalam Undang-Undang KPKPU Pasal 57 ayat 1 yang menerangkan jika insolvensi merupakan keadaan tidak mampu membayar utang dan pada intinya, indikator yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai terjadinya insolvensi, diantaranya debitur gagal membayar utang-utang yang dibebankan serta debitur mempunyai nilai beban utang lebih besar seluruh aset-asetnya.

Perbedaan Insolvensi dengan Pailit

Perbedaan mendasar dari pailit dan insolvensi terletak pada kemampuan pembayaran serta kepemilikan atas sejumlah aset. Apabila pihak debitur mempunyai akumulasi aset melebihi jumlah utang maka hal itu disebut sebagai pailit, sedangkan jika pihak debitur tidak mempunyai aset senilai jumlah utang maka statusnya dinyatakan sebagai insolvensi. Dalam Undang-Undang KPKPU Pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa debitur yang telah mengalami insolvensi tidak dapat dipailitkan.

Dalam kasus lain, apabila insolvensi terjadi karena munculnya keadaan keuangan yang tidak mempunyai likuiditas cukup akibat pemasukan lebih kecil dibandingkan pengeluaran atau disebut sebagai faktor cash flow insolvency, maka permasalahan tersebut lebih tepat jika diperkarakan dalam pengadilan negeri bukan pengadilan niaga.

Lain halnya dengan insolvensi, pihak debitur dinyatakan mengalami pailit secara resmi apabila dinilai berdasarkan 2 hal, yaitu mempunyai utang pinjaman lebih dari 1 kreditur dan setidaknya terdapat 1 utang pinjaman yang telah berada pada status jatuh tempo, namun debitur tidak berdaya dalam menjalankan pelunasan pembayaran.

Terkait pernyataan resmi mengenai status kepailitan diatur dalam Undang-Undang KPKPU Pasal 8 ayat 4, di mana permohonan pailit dikabulkan apabila keadaan yang sebenarnya memang terbukti mengalami kepalitian sebagaimana yang dimaksud ke dalam 2 hal di atas.

Faktor Penyebab Insolvensi

1. Insolvensi dapat terjadi apabila kualitas sumber daya manusianya tidak mempunyai standar yang baik dari segi keterampilan dalam mengelola dan mengerjakan segala kebutuhan serta kepentingan perusahaan. Alhasil, produktivitas perusahaan mengalami kemunduran dan berdampak pada tingkat pemasukan dan pertumbuhan perusahaan dari berbagai aspek operasional.

2. Ketidakmampuan dalam mengelola keuangan serta cadangan modal perusahaan juga bisa mengakibatkan terjadi insolvensi karena pengeluaran besar tentunya diharapkan mampu memberikan pemasukan yang lebih besar dikarenakan besarnya biaya yang telah dikeluarkan. Apabila pengelolaan keuangan tidak terjadi secara maksimal, bisa dipastikan jika perusahaan akan mengalami kerugian karena arus pengeluaran tidak terkontrol.

3. Terjadinya peningkatan harga untuk kebutuhan produksi produk bisnis, sehingga membuat perusahaan harus menekan beban biaya pengeluaran. Namun, penekanan beban biaya yang terlalu ekstrim juga bisa menyebabkan produktivitas tidak berjalan secara maksimal dan memengaruhi hasil produksi serta kualitas produk bisnis.

4. Tidak adanya pengembangan produk secara berkelanjutan dan membuat perusahaan dinilai kurang bisa menyesuaikan dengan perubahan kondisi pasar. Keinginan konsumen pun menjadi tidak terpenuhi karena tidak adanya peningkatan serta penciptaan inovasi baru, sehingga menyebabkan pemasukan dan laba bersih perusahaan menurun akibat penurunan daya serta minat beli.

Penutup

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai perbedaan antara insolvensi dengan pailit, bisa disimpulkan jika debitur akan dinyatakan mengalami insolvensi apabila tidak mampu membayar utang pinjaman kepada kreditur dan kepemilikan aset secara kumulatif tidak mampu membendung atau memenuhi keseluruhan kewajiban pembayaran utang. Beda halnya dengan pailit yang masih mempunyai potensi untuk membayar seluruh utangnya. Pailit timbul dari adanya ketidakmampuan debitur untuk membayar sejumlah utang pada 1 kreditur yang telah mengalami jatuh tempo.

© 2021, Moderator emiten.com. All rights reserved.

Artikel Lainnya oleh Tim editor emiten.com

Startup yang terus berkomitmen tingkatkan kualitas ekosistem pasar modal Indonesia

PT APLIKASI EMITEN INDONESIA